Jumat, 05 November 2010

TINEA INCOGNITO

BAB I
PENDAHULUAN
Steroid topikal merupakan obat yang paling banyak dipergunakan dalam dermatoterapi terutama karena manfaatnya yang paling utama sebagai antiinflamasi dan antimitosis dalam proses peradangan pada kulit. Mekanisme steroid topikal dalam dermatoterapi bersifat paliatif atau mempermudah penyembuhan alamiah dari proses peradangan. Jadi steroid tidak bersifat menyembuhkan penyakit kulit (Steroid do not cure any of the skin disorder) jadi dalam terapi juga harus dicarI penyebab utamanya dan segera mungkin diatasi untuk mempercepat proses penyembuhan dari penyakit (Gorani dan Oriani, 2002).
Steroid topikal dapat menimbulkan efek samping yang cukup serius jika digunakan tidak dalam proses terapi yang benar antara lain jika digunakan dalam jangka waktu yang lama dan dosisnya berlebihan.
Penyakit jamur kulit atau dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut dan mukosa yang disebabkan infeksi jamur. Pada umumnya golongan penyakit ini dibagi atas infeksi superfisial, infeksi kutan, dan infeksi subkutan
Tinea incognito merupakan kesalahan terapi tinea dengan menggunakan steroid topikal sehingga menimbulkan kelainan kulit yang tidak jelas setelah mendapat terapi dengan steroid topikal untuk jangka waktu tertentu

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. DEFINISI
Tinea incognito adalah nama yang diberikan pada infeksi jamur saat gambaran klinis yang ada menjadi tidak jelas dikarenakan pengobatan yang tidak tepat, yang biasanya disebabkan oleh karena pemakaian steroid topikal pada kasus infeksi yang disebabkan oleh jamur dermatofita (Gorani dan Oriani, 2002).
2.2. ETIOLOGI
Pada banyak kasus yang ditemukan, beberapa organisme diketahui dapat menyebabkan terjadinya tinea incognito dalam hubungannya dengan penggunaan steroid topikal. Setelah diteliti ditemukan bahwa Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes sering ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sebagai koloni yang ada pada tinea incognito, karenanya infeksi jamur yang disebabkan oleh dua spesies tersebut sering berkembang menjadi tinea incognito contohnya tinea korporis, tinea pedis et manus, tinea unguium dan tinea cruris (Gorani dan Oriani, 2002).
2.3. STEROID TOPIKAL
Pada masa kini steroid topikal merupakan sediaan yang paling banyak dipakai dalam dermatologi, disamping obat-obat anti jamur topikal, dan di pasaran dapat dijumpai tidak kurang dari 70 sediaan steroid topikal dengan bermacam-macam nama dagang.
           
2.3.1. Indikasi Steroid Topikal
Penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan steroid topikal menurut  Anigbogu dan Maibach (2000), dapat digolongkan menjadi :
1.      Penyakit-penyakit yang pada umumnya sangat responsif terhadap pengobatan steroid topikal seperti dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis nummular, dermatitis kontak alergi dan iritan, psoriasis pada muka dan genital, liken simpleks, pruritus ani dan dermatitis stasis.
2.      Penyakit-penyakit yang kurang responsif terhadap steroid topikal seperti lupus eritematous diskoid, liken planum, granuloma anulare, sarkoidosis, dan psoriasis palmo plantar.
2.3.2.      Mekanisme Kerja Steroid Topikal
Menurut Anigbogu dan Maibach (2000), steroid topikal mempunyai 4  efek utama atas kulit, yaitu :
1.      Anti inflamasi
Aktivitas anti inflamasi dari steroid topikal ini merupakan efek utama  yang diharapkan dalam dermatologi. Efek ini diduga karena steroid topikal bekerja dengan mencegah proses marginasi (melekatnya lekosit dan monosit pada endotel pembuluh darah) dan menghambat proses khemotaksis (migrasi sel-sel tersebut ke fokus peradangan) yang terjadi pada proses peradangan.


2.       Imunosupresi
Sifat imunosupresi ini sebenarnya juga melibatkan sifat anti inflamasi steroid topikal, karena inflamasi merupakan bagian dari proses kekebalan tubuh. Steroid juga menghambat pembelahan sel-sel limfoit, melisis sel limfosit B dan menghambat kerja limfokin pada sasaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa steroid bekerja menekan reaksi hipersensitifitas, baik tipe I, II, III (humoral), maupun tipe IV (seluler).
3.      Antimitosis (Antiproliferasi)
Steroid mempunyai sifat antimitosis dengan menekan pembelahan sel, menurunkan transkripsi RNA, mengurangi sintesis DNA dan mungkin juga reparasi DNA. Akibat sifat ini pengolesan steroid topikal pada kulit akan menyebabkan penipisan epidermis dan sel-selnya mengecil. Disamping pada sel-sel epidermis, efek antimitosis ini juga terjadi pada sel-sel fibroblast, sehingga pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan gangguan sintesis kolagen dengan akibat terjadinya striae dan atrofi.
4.      Vasokonstriksi

Steroid juga menyebabkan vasokontriksi, menurunkan permeabilitas membrane dan menghambat pelepasan bahan-bahan toksik, sehingga akan mengurangi ekstravasasi serum, pembengkakan dan rasa gatal.


2.3.3.      Golongan Kekuatan Steroid Topikal
Berdasarkan potensinya steroid topikal menurut Anigbogu dan Maibach (2000), dan Wozniacka (2001), dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu golongan I (potensi lemah), golongan II (potensi sedang), golongan III (potensi kuat) dan golongan IV (potensi sangat kuat). Potensi tersebut didasarkan atas sifat antiinflamasi dan sifat antimitosisnya (Anigbogu, 2000). Golongan I pada umumnya sifat antiinflamasi saja, golongan IV mempunyai sifat anti inflamasi maupun antimitosis yang kuat. Golongan II dan III berada diantaranya.
1.      Golongan I
·         Hidrokortison 1 – 2,5%
·         Metilprednisolon 0,25%
·         Deksametason 0,04%
2.      Golongan II (2-25 kali lebih kuat dari hidrokortison)
·         Hidroksiprednisolon 0,5%
·         Flumetason pivalat 0,02%
·         Klobetason butirat 0,05%
·         Desonid 0,5%
·         Hidrokortison 17-butirat 0,1%
3.      Golongan III (100-150 kali lebih kuat dari hidrokortison)
·         Triamsinolon asetonid 0,1%
·         Halsinonid 0,1%
·         Flupredniden asetat 0,1%
·         Flukortolon 0,5%
·         Flusinolon asetonid 0,025%
·         Fluklorolon asetonid 0,025%
·          Diflukortolon valerat 0,1%
·         Desoksimetason 0,25%
·         Betametason valerat 0,1%
·           Betametason dipropionat 0,05%
·         Halometason 0,05%

4.      Golongan IV (600 kali lebih kuat dari hidrokortison)

·         Diflukortolon valerat 0,3%
·         Clobetasol propionat 0,05%
·         Betametasone dipropionate
Beberapa sediaan steroid topikal dikombinasi dengan berbagai antimikroba seperti nistatin, neomisin. Pemakaian sediaan kombinasi ini dapat dipakai pada keadaan tertentu seperti bayi atau anak dengan dermatitis infantil karena kemungkinan infeksi sekunder sangat sering pada dermatitis seboroik maupun dermatitis popok yang sering disertai dengan infeksi kandida. Hanya perlu diperhatikan bahwa pengobatan sekali tembak dapat menyebabkan keengganan mencari diagnosis setepat-tepatnya, memacu timbulnya mikroorganisme yang resisten dan memungkinkan timbulnya sensitisasi oleh bahan antiinfeksi tersebut (Ricciati, 1978).
2.3.4.Efek Samping Penggunaan Steroid Topikal
Ternyata makin kuat sediaan steroid topikal, makin besar pula kemungkinan efek samping yang terjadi. Pemakaian yang terlalu lama akan meningkatkan resiko timbulnya efek samping ini. Sehingga pemakaian steroid yang poten seyogyanya tidak lebih dari 2 – 3 minggu. Efek samping ini dapat bersifat lokal atau sistemik (Anigbogu dan Maibach, 2000; Wozniacka dan Jedrzejowska, 2001).
1.      Efek lokal
·         Kerusakan kulit berupa atrofi kulit, teleangiektasi, purpura atau striae.
·          Infeksi atau infestasi dapat terjadi setelah pemakaian jangka lama, terutama kalau digunakan secara oklusi, dapat berupa infeksi kandida, bakteria atau meluasnya impetigo. Tinea incognito juga dapat terjadi karena kesalahan terapi tinea dengan menggunakan steroid topikal.
·         Efek lain misalnya timbulnya akne steroid, dermatitis perioral, gangguan pigmentasi dan alergi.
·         Pada individu tertentu pemakaian jangka panjang dapat
·         menyebabkan rambut pada muka tumbuh subur.
2.      Efek sistemik

·         Steroid topikal khususnya yang mempunyai potensi kuat dan dipakai untuk jangka panjang dengan konsentrasi tinggi atau oklusi dapat pula menimbulkan efek sistemik seperti steroid sistemik. 
2.4.MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis tinea incognito menurut Barnez (2003), berupa :
1.      Tidak terdapatnya lesi berskuama yang biasanya meninggi
2.      Area yang terlibat memperlihatkan pewarnaan seperti memar  (kemerahan)
3.      Kadang terdapat nodulus dan pustule pada tepinya.
    Tinea incognito harus dimasukkan sebagai diagnosis banding pada infeksI kulit yang supuratif, terutama ketika penderita diketahui sebelumnya mendapat terapi dengan steroid topikal 
    Gambar 1. Tinea incognito dengan patch eritematous dan teleangiektasi tanpa adanya skuama, septa dan hifa yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik tinea incognito menggunakan potasium hidroksid.


1.4.DIAGNOSIS
Untuk dapat melakukan terapi yang tepat pada tinea incognito harus dapat ditegakkan diagnosis dari gejala klinis yang ada spesifik ke arah tinea incognito dan mencari penyebab pasti infeksi jamur tersebut dengan mengambil contoh kerokan kulit untuk dilakukan pemeriksaan kultur dan mikroskopik dengan menggunakan potassium hidroksid (Barnez, 2003; Carrie dan Oklota, 2004).
1.5. PENATALAKSANAAN
Menurut Barnez, (2003), terapi pada tinea incognito harus  memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Steroid topikal yang telah dipakai sebelumnya harus dihentikan
2.      Terapi standar untuk pengobatan jamur dengan antijamur harus digunakan
3.      Jika diketahui secara pasti jenis jamur yang ada maka dapat diterapi dengan obat antijamur yang spesifik, misalnya dengan griseofulvin, ketokonazole, itrakonazole, klortrimazole, mikonazole
2.6.1 PERANAN STEROID TOPIKAL TERHADAP TINEA INCOGNITO
Menurut Barnez (2003), pemakaian steroid topikal pada kulit akibat peradangan jamur pada awalnya dapat terjadi perbaikan atau penurunan peradangan dikarenakan efek utama dari pemberian steroid topikal pada dermatologi adalah efek anti inflamasi. Tetapi jika pengobatan dihentikan dalam beberapa hari kemudian penyakit yang diderita akan semakin bertambah parah dan gatal. Selain efek anti inflamasi steroid topikal juga memiliki efek imunosupresi yang menekan peradangan akibat jamur pada awal infeksi, tetapi jika semakin sering dan banyak steroid topikal digunakan maka infeksi jamur akan semakin bertambah karena organisme penginfeksi tidak dibasmi, selain itu juga steroid topikal mengakibatkan keadaan berupa pengaburan tanda klinis infeksi sehingga menjadi tidak jelas dan tidak spesifik.


infeksi jamur yang diberikan steroid topikal golongan kuat akan membuat lesi menjadi kemerah-merahan dan semakin memperluas infeksi secara perlahan-lahan. Sehingga menimbulkan gambaran klinis yang tidak jelas dan aneh yaitu skuama hampir tidak ditemukan, lesi eritematous dengan teleangiektasis yang juga bisa terdapat papula, pustule dan hiperpigmentasi.


KESIMPULAN
1.      Steroid topikal memiliki banyak peranan terhadap kelainan kulit diantaranya peranan positif dalam membantu terapi serta penyembuhan penyakit kulit dan peranan negatif berupa kemungkinan munculnya efek samping yang dapat ditimbulkannya.
2.      Efek anti inflamasi dan imunosupresi dari steroid topikal pada infeksi akibat jamur dapat menekan atau mengurangi infeksi pada awalnya, tetapi jika dipergunakan terus-menerus dapat menimbulkan pengaburan tanda klinis dan perluasan infeksi akibat organisme penginfeksi tidak dibasmi.
3.       Tinea incognito merupakan penyakit yang timbul disebabkan kesalahan terapi infeksi jamur dengan menggunakan steroid topikal sehingga menyebabkan timbulnya suatu gambaran klinis yang tidak lazim atau tidak khas.
4.      Tinea incognito harus dimasukkan sebagai diagnosis banding pada infeksi kulit yang mempunyai gambaran klinis tidak khas dimana sebelumnya diketahui mendapat terapi dengan steroid topikal.
5.      Tinea incognito didiagnosis dengan adanya gambaran klinis yang tidak khas yang biasanya berupa lesi eritematous dapat disertai adanya papula dan pustula serta hampir tidak ditemukannya skuama dengan tepi yang meninggi dan dapat dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan ditemukannya elemen jamur dengan menggunakan potasium hidroksid.
6.      Penanganan tinea incognito dengan penghentian pemakaian steroid topikal dan melakukan terapi standar menggunakan obat anti fungal atau anti jamur

DAFTAR PUSTAKA
1.      Anigbogu, A.N. and Maibach, H. I., 2000, Topical Corticosteroid Therapy, in Drug Theraphy In Dermatology, University of California at San Francisco, San Francisco, California.http://www.rksoul.ne t
2.      Barnez, L., 2003Topical Steroids, dermnetnz.org/fungal/topical-steroids.html.
3.      Barnez, L., 2003Tinea Incognito, dermnetnz.org/fungal/tinea-incognito.html.
4.      Budimulja, U., 2002,Mik osis, dalam Djuanda, A., Hamzah dan Aisah, S (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, FK-UI, Jakarta : 90-97.
5.      Carrie, A. dan Oklota, M.D., 2004, Uncovering Tinea Incognito, http/www.google.com.
6.      Gorani, A. dan Oriani, A., 2002, Rossacea Like Tinea Incognito, http/www.google.com
7.      Jacobs, J.A., 2001,Tinea Incognito Due To Trichophyton Rubrum After Local Steroids Theraphy, http /www. g o o g l e . c o m 



Senin, 01 November 2010

INDIKASI PEMAKAIAN ACE-INHIBITOR PADA CONGESTIVE HEART FAILURE



BAB I
PENDAHULUAN

Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses pengangkutan berbagai substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari organ penggerak yang disebut jantung, dan sistem saluran yang terdiri dari arteri yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan darah menuju jantung.1
Sindrom klinis gagal jantung mengakibatkan penurunan kualitas hidup, intoleransi terhadap aktivitas, seringnya keluar masuk rumah sakit, dan peningkatan angka mortalitas. Semua itu adalah persoalan yang penting bagi pasien gagal jantung. Pengobatan yang ideal untuk gagal jantung harus dapat memberikan solusi untuk persoalan tersebut. Saat ini muncul disosiasi antara efek farmakologis jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, baik enoximone dan milrinone dapat memperbaiki gejala jangka pendek, namun mengakibatkan peningkatan angka mortalitas karena kemungkinan terjadinya aritmia. Akibat disosiasi ini dan dominasi pengobatan terkait angka survival, studi efek obat terhadap penurunan gejala, kualitas hidup, dan aktivitas sangat sedikit. Namun, perbaikan gejala, peningkatan kualitas hidup, dan kemampuan untuk beraktivitas menjadi prioritas yang lebih utama dibandingkan survival pada pasien gagal jantung terutama usia lanjut.  ACE inhibitor merupakan contoh obat yang baik dalam mengkontribusi perbedaan tersebut. ACE inhibitor terbukti meningkatkan angka survival dan juga meningkatkan kemampuan beraktivitas.1

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. GAGAL JANTUNG
2.1. DEFINISI
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung merupakan suatu sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup.2
            Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.2
2.2. ETIOLOGI

Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgitasi katub berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar.3
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :1
1.      Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan yaitu :
·         Beban tekanan
·         Beban volume
·         Tamponade jantung atau konstriski perikard (jantung tidak dapat diastole).
·         Obstruksi pengisian bilik
·          Aneurisma bilik
·         Disinergi bilik
·         Restriksi endokardial atau miokardial
2.      Abnormalitas otot jantung
·         Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik,anemia) toksin atau sitostatika.
·         Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
Di samping itu penyebab gagal jantung berbeda-beda menurut kelompok umur,yakni pada masa neonatus, bayi dan anak.
Periode Neonatus
Disfungsi miokardium relatif jarang terjadi pada masa neonatus, dan bila ada biasanya berhubungan dengan asfiksia lahir, kelainan elektrolit atau gangguan metabolik lainnya. Lesi jantung kiri seperti sindrom hipoplasia jantung kiri, koarktasio aorta, atau stenosis aorta berat adalah penyebab penting gagal jantung pada 1 atau 2 minggu pertama.
Periode Bayi
Antara usia 1 bulan sampai 1 tahun penyebab tersering ialah kelainan struktural termasuk defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten atau defek septum atrioventrikularis. Gagal jantung pada lesi yang lebih kompleks seperti transposisi, ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda, atresia tricuspid atau trunkus arteriosus biasanya juga terjadi pada periode ini.
Periode Anak
Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan jarang dimulai setelah usia 1 tahun. Dinegara maju, karena sebagian besar pasien dengan penyakit jantung bawaan yang berat sudah dioperasi, maka praktis gagal jantung bukan menjadi masalah pada pasien penyakit jantung bawaan setelah usia 1 tahun.
Perubahan-perubahan yang terlihat pada gagal jantung :1



 
Keteranngan :

o   Gambar 1   : Jantung Normal
o   Gamabr 2   : Dinding jantung merentang dan bilik-bilik jantung membesar,
                           dinding jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah.
o    Gambar 3 : Dinding-dinding jantung menebal, dinding otot jantung   menebal    untuk memompa lebih kuat.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Gagal jantung adalah merupakan suatu sindrom, bukan diagnosa penyakit. Sindrom gagal jantung kongestif (Chronic Heart Failure/ CHF) juga mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur/age-dependent. Menurut penelitian, gagal jantung
jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun.
Dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup, akan didapati prevalensi dari CHF yang meningkat juga. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya lansia yang mempunyai hipertensi akan mungkin akan berakhir dengan CHF. Selain itu semakin membaiknya angka keselamatan (survival) post-infark pada usia pertengahan,menyebabkan meningkatnya jumlah lansia dengan resiko mengalami CHF. Angka kejadian PJPD (Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah) di Amerika
Serikat pada tahun 1996 dilaporkan hampir mencapai 60 juta penderita, ternyata dari 5 orang Amerika 1 diantaranya menderita PJPD. Tekanan darah tinggi paling sering dijumpai, disusul dengan Penyakit Jantung Koroner dan Stroke. Gagal Jantung Kongestif merupakan komplikasi Tekanan Darah Tinggi yang tak terkontrol dengan baik, atau PJK yang luas, cukup sering ditemukan.4

2.4. KLASIFIKASI
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.
Tabel 1. Klasifikasi fungsional gagal jantung (NYHA)4


Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung  (NYHA)
Kelas I
Tidak ada batasan aktivitas fisik
Kelas II
Sedikit batasan pada aktivitas (rasa lelah, dispnea)
Kelas III
Batasan aktivitas bermakna (nyaman saat istirahat namun sedikit aktivitas menyebabkan gejala)
Kelas IV
Gejala saat istirahat

 
2.4. PATOFISIOLOGI 5

Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban hemodinamik berlebih diberikan kepada ventrikel normal, jantung akan mengadakan sejumlah mekanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah.

a.      Mekanisme Adaptif
Mekanisme adaptif meliputi hipertrofi miokard, neurohormonal, aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron, aktivasi sitem saraf simpatik, peptida natriuretik, anti diuretik hormon dan endotelin, dan mekanisme Frank-Starling.
Hipertrofi miokard meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik, namun juga meningkatkan kekakuan dinding ventrikel, menurunkan pengisian ventrikel dan fungsi diastolik.5
Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang menstimulasi pelepasan norepinefrin (noradrenalin) dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal, dan membantu pelepasan aldosteron dari adrenal, menyebabkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium di ginjal. Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat menurunkan metabolisme aldosteron, sehingga meningkatkan kadar aldosteron lebih lanjut. Aktivasi sistem saraf simpatik pada gagal jantung kronis melalui baroreseptor, menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya, namun kemudian pada aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif garam dan air, dan edema. Stimulasi simpatik kronis menghasilkan regulasi-turun reseptor-ß jantung, menurunkan respons jantung terhadap stimulasi. Kejadian ini bersama dengan gangguan baroreseptor, kemudian akan menyebabkan peningkatan stimulasi simpatik lebih lanjut. Peptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal, dan system saraf pusat. Peptida natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide/ANP) dilepaskan dari atrium jantung sebagai respons terhadap peregangan, menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Pada manusia, peptide natriuretik otak (brain natriuretic peptide/BNP) juga dilepaskan dari jantung, terutama dari ventrikel dan dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II pada tonus vaskular, sekresi aldosteron, dan reabsorbsi natrium ginjal.5
Kadar hormon antidiuretik (vasopresin) juga meningkat, yang menyebabkan vasokonstriksi dan berperan dalam retensi air dan hiponatremia. Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal.
Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium serta air meningkatkan tekanan atrium dan tekanan serta volume akhir diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer, dan kontraksi myofibril diperkuat (mekanisme Frank-Starling).
Dengan interaksi kompleks dari faktor-faktor yang saling mempengaruhi ini, curah jantung pada keadaan istirahat merupakan indeks fungsi jantung yang relative tidak sensitif, karena mekanisme kompensasi ini bekerja untuk mempertahankan curah jantung ketika miokard gagal, namun tipa mekanisme kompensasi ini memiliki konsekuensinya. Misalnya, konstriksi yang diinduksi katekolamin dan angiotensin akan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan cenderung mempertahankan tekanan darah namun meningkatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen miokard.5
b. Kelainan Non Jantung
Endotelium vaskular berperan penting dalam regulasi tonus vaskular, secara lokal melepaskan faktor konstriksi dan relaksasi. Peningkatan tonus vaskular perifer pada pasien dengan gagal jantung kronis disebabkan peningkatan aktivitas simpatik, aktivasi sitem RAA, dan gangguan pelepasan faktor relaksasi dari endothelium (endothelium derived relaxing factor/EDRF atau nitrat oksida). Beberapa efek tambahan dari latihan dan terapi obat tertentu (ACE inhibitor)  mungkin disebabkan karena perbaikan fungsi endothelial.6
c. Disfungsi Miokard Diastolik
Gangguan relaksasi miokard, karena peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan komplians, menghasilkan gangguan pengisian diastolik ventrikel. Fibrosis iskemik miokard (penyakit jantung koroner) dan left ventrikel hypertrophy/LVH (hipertensi, kardiomiopati hipertrofik) merupakan penyebab tersering, tetapi dapat juga disebabkan oleh infiltrasi miokard, misalnya amiloid. Disfungsi diastolik sering timbul bersama gagal sistolik namun juga bisa berdiri sendiri pada 20%-40% pasien gagal jantung .6
d. Remodeling miokard, hibernasi, dan stunning
Setelah infark miokard luas, proses remodeling terjadi dengan hipertrofi regional dari segmen non infark serta penipisan dan dilatasi daerah yang infark. Akibat dari proses remodeling terjadi perubahan bentuk dan ukuran ventrikel kiri. Hal ini paling terlihat ketika arteri koroner yang terkait infark tetap teroklusi dan tidak mengalami rekanalisasi. Bahkan setelah reperfusi yang berhasil, pemulihan miokard dapat tertunda (stunning miokard). Hal ini berlawanan dengan hibernasi miokard, yang mendiskripsikan disfungsi miokard lebih persisten saat istirahat, sekunder karena penurunan perfusi miokard, bahkan bila miosit jantung tetap viabel dan kontraktilitas membaik dengan revaskularisasi. Miokard yang mengalami stunning atau hibernasi tetap responsif terhadap stimulasi inotropik.
2.5. DIAGNOSIS
Bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. Tanda yang penting adalah takikardi (150x/mnt atau lebih saat istirahat), serta takipne (50x/mnt atau lebih saat istirahat). Pada perikardium dapat teraba aktivitas jantung yang meningkat. Bising jantung sering ditemukan pada auskultasi, yang tergantung dari kelainan struktural yang ada. Khususnya pada neonatus dan bayi kecil. Ronki juga sering ditemukan pada gagal jantung. Bendungan vena sistemik ditandai oleh peninggian tekanan vena jugular, serta refluks hepatojugular. Kedua tanda ini sulit diperiksa pada neonatus dan bayi kecil, tampak sianosis perifer akibat penurunan perfusi di kulit dan peningkatan ekstraksi oksigen jaringan ekstremitas teraba dingin, pulsasi perifer melemah, tekanan darah sistemik menurun disertai penurunan capillary refill dan gelisah. Pulsus paradoksus , pulsus alternans (penurunan fungsi bilik stadium lanjut). Bising jantung menunjukan diagnosis tetapi tidak adanya bising jantung tidak dapat memungkiri bahwa bukan gagal jantung.6


·         Foto dada: dengan sedikit perkecualian, biasanya disertai kardiomegali. Paru tampak  edema vena pulmonal.6

 
                                          Gambar 2. foto torax menunjukkan tanda-tanda gagal jantung
 
·         Elektrokardiografi : di samping frekuensi QRS yang cepat atau disritmia, dapat ditemukan pembesaran ruang-ruang jantung serta tanda-tanda penyakit miokardium/ pericardium.6
·          Ekokardiografi : M-mode dapat menilai kuantitas ruang jantung dan shortening fraction yaitu indeks fungsi jantung sebagai pompa. Pemeriksaan Doppler dan Doppler berwarna dapat menambah informasi secara bermakna.
Dokter akan memberikan dugaan gagal jantung berdasarkan pada catatan medis sebelumnya, gejala dan tanda serta test atau pemeriksaan fisik.6
Beberapa pemeriksaan atau test pada pasien dengan dugaan gagal jantung:6
o   Test atau pemeriksaan darah
o   Test atau pemeriksaan urine
o   Pemeriksaan X-ray dada
o   Electrocardiogram atau elektro kardio grafi (ECG)
o   Echocardiography
o   Radionuclide ventriculography
Echocardiography dan Radionuclide ventriculography sering digunakan untuk memastikan diagnosis gagal jantung. Echocardiogram adalah suatu test yang penyebabnya tanpa ada rasa nyeri. Pemeriksaan dilakukan pada permukaan dada dimana hasil pemeriksaan adalah berupa gambar dari jantung, dimana gambar tersebut menunjukkan seberapa sehat jantung dalam memompa darah.5

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham.
 
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantug kongestif 7
Kriteria Mayor
Kriteria Minor
·         Paroksismal nocturnal dispnea
·         Distensi vena jugularis
·         Ronkhi
·         Kardiomegali
·          Edem pulmo akut
·         Gallop S3
·         Tekanan vena sentral > 16 cm H2O
·         Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
·         Refluks hepatojugular
·         Edem pulmo, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi
·         Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari setelah mendapat pengobatan untuk gagal jantung kongestif
·         Edema kaki bilateral
·          Batuk malam hati
·         Dyspnea on ordinary exertion
·         Hepatomegali
·          Efusi pleura
·         Penurunan kapasitas vital sepertiga dari nilai normal
·         Takikardi ( ≥ 120 kali/menit)

 
·         Paroksismal nocturnal dispnea
·         Distensi vena jugularis
·         Ronkhi
·         Kardiomegali
·          Edem pulmo akut
·         Gallop S3
·         Tekanan vena sentral > 16 cm H2O
·         Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
·         Refluks hepatojugular
·         Edem pulmo, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi
·         Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari setelah mendapat pengobatan untuk gagal jantung kongestif
·         Edema kaki bilateral
·          Batuk malam hati
·         Dyspnea on ordinary exertion
·         Hepatomegali
·          Efusi pleura
·         Penurunan kapasitas vital sepertiga dari nilai normal
·         Takikardi ( ≥ 120 kali/menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Kriteria minor diterima jika tanda tersebut tidak terkait dengan kondisi medis lain.7
Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktek jantung kiri sering terkena. Gagal jantung  kanan terisolasi dapat terjadi karena embolisme paru mayor, hipertensi paru, atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum interventrikel, disfungsi salah satu ventrikel potensial dapat mempengaruhi fungsi yang lain. Pasien sering datang dengan campuran gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel.
 
Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kiri7
Gejala
Tanda
·         Penurunan kapasitas aktivitas
·          Dispnea (mengi, orthopnea, PND)
·         Batuk (hemoptisis)
·         Letargi dan kelelahan
·         Penurunan nafsu makan dan berat badan
·         Kulit lembab
·         Tekanan darah (tinggi, rendah atau normal)
·         Denyut nadi (volume normal atau rendah) (alternans/takikardia/aritmia)
·         Pergeseran apeks
·         Regurgitasi mitral fungsional
·          Krepitasi paru
·         (± efusi pleura)


Tabel 4. Gambaran klinis gagal jantung kanan7
 
Gejala
Tanda
o   Pembengkakan pergelangan kaki
o   Dispnea (namun bukan orthopnea atau PND)
o   Penurunan kapasitas aktivitas
o   Nyeri dada
o   Denyut nadi (aritmia takikardia)
o   Peningkatan JVP
o    Edema
o   Hepatomegali dan ascites
o   Gerakan bergelombang parasternal
o    S3 atau S4 RV
o    Efusi pleura

Penurunan curah jantung dan penurunan perfusi organ seperti otak, ginjal, dan otot skelet, baik disebabkan oleh gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan berat, menyebabkan gejala umum seperti kebingungan mental, rasa lelah dan cepat capek, serta penurunan toleransi aktivitas. The New York Heart Association (NYHA) telah mengklasifikasikan batasan fungsional.6
B. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Pada tahun 1956 Skeggs menemukan suatu enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang dikenal dengan narna angiotensin-coverting enzyme (ACE). Selanjutnya oleh Cushman dan Ondetti ditemukan obat yang dapat menghambat aktifitas ACE yaitu angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) yang pada awalnya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Selain digunakan untuk pengobatan hipertensi, ACE-I juga berperan dalam pengobatan gagal jantung, dan mempunyai efek lain yang penting yaitu dapat mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pemaharnan mengenai manfaat ACE-I untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung dan proteksi terhadap terjadinya disfungsi endotel didasarkan pada pengetahuan tentang sistem renin-angiotensin aldosteron (RAA). Renin dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap adanya katekolamin, penurunan kadar natrium plasma, dan penurunan aliran darah ginjal. Renin selanjutnya mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang merupakan dekapeptida yang tidak aktif. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE. Angiotensin mempunyai banyak efek yang berperan terhadap terjadinya hipertensi, gagal jantung dan proses aterosklerosis. Angiotensin II berefek vasokonstruktor kuat, meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis, merangsang produksi aldosteron, sebagai faktor pertumbuhan (growth factor), meningkatkan agregasi trombosit dan adhesi monosit, merangsang terbentuknya plasminogen activator inhibitor (PAI), memacu terbentuknya endotelin dan meningkatkan produksi radikal bebas. Di samping berperan pada sistem RAA, ACE-I juga berpengaruh pada sistem kinin-kalikkrein. Angiotensin converting enzyme yang identik dengan kininase II menyebabkan penginaktifan bradikinin, sehingga pernberian ACE-I dengan sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadar bradikinin. Selain berefek vasodilator langsung, bradikinin juga menyebabkan rangsangan produksi dan pelepasan nitric oxide (NO/endothelium-derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF) dari endotelium vascular .8
ACE inhibitor dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan struktur molekul-nya, yaitu golongan sulfhydryl-containing agent, dicarboxylate-containing agent, dan phosphonate containing agent.8


Tabel 5.  Obat-obatan Golongan ACE Inhibitor6


 
sulfhydryl-containing agent
dicarboxylate-containing agent
Phosphonate-containing agent
·         Captopril (Capoten)
·         Zofenopril

·         Enalapril (Vasotec/Renitec)
·         Ramipril (Altace/Tritace/Ramace/Ramiwi)
·         Quinapril (Accupril)
o    Perindopril (Coversyl/Aceon)
o    Lisinopril (Lisodur/Lopril/Novatec/Prinivil/Zestril)
§  Benazepril (Lotensin)
§  Fosinopril (Monopril)








BAB III
PEMBAHASAN
A. Cardiac Remodeling
Remodeling ventrikel kiri merujuk kepada perubahan massa, ukuran ruangan, dan geometris yang diakibatkan oleh, injury miokard, overload tekanan atau volume. Perubahan ultrastruktural pada ventrikel yang mengalami remodeling merupakan akibat langsung dari hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast, dan penumpukan abnormal dari matriks ekstraseluler.  Beberapa data klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa renin-angiotensin system (RAS) berperan dalam proses seluler ini6.
RAS terdiri dari kompartemen jaringan lokal dan yang bersirkulasi, aktivasinya menyebabkan pembentukan angiotensin II, mediator hormonal primer dari RAS. Pada RAS yang bersirkulasi, penurunan perfusi ginjal menyebabkan pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerular. Angiotensinogen yang dilepaskan oleh hati dipecah oleh renin menjadi dekapeptida-nya,  angiotensin I. Angiotensin I kemudian dipecah menjadi oktapeptida-nya, angiotensin II, oleh angiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat pada anyaman endothelial. Angiotensin II kemudian mengaktivasi reseptornya sehingga terjadi vasokonstriksi, retensi cairan, dan aktivasi simpatik. Efek kardiovaskuler dari angiotensin II dimediasi oleh reseptor angiotensin II tipe I (AT 1). Aktivasi reseptor AT 1 juga berpengaruh pada cell growth promoting effect dari angiotensin II. Reseptor angiotensin II lainnya yang diketahui adalah reseptor AT 2 dan AT 4. AT 4 ditemukan dalam sel endothelial dan mungkin memicu pelepasan substansi prokoagulan seperti plasminogen activator inhibitor-I6.
B. Mekanisme Aksi ACE Inhibitor
Beberapa bukti menunjukkan bahwa ACE jaringan berkontribusi signifikan pada respon seluler remodeling ventrikel, dan inhibisi pada ACE jaringan penting kaitannya dengan efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus, aktivitas ACE jaringan miokard dan level ACE mRNA post miokard infark meningkat dua kali lipat. Karena ACE inhibitor memiliki kemampuan yang beragam dalam menghambat ACE lokal dan jaringan, beberapa agen mungkin tidak secara adekuat menekan peningkatan lokal dari angiotensin II, sehingga mengurangi kemampuannya sebagai anti remodeling. Salah satu studi melaporkan  bahwa prevensi dari hipertrofi ventrikel kiri pada tikus dengan volume overload tergantung dari inhibisi ACE lokal (miokard). Pada tikus dengan miokard infark, ditemukan bahwa inhibisi poten dari aktivitas ACE jaringan terkait peningkatan survival dan reduksi massa ventrikel kiri dan ekspresi gen ANP ventrikel yang lebih besar. Studi ini menunjukkan bahwa derajat dari inhibisi ACE jaringan penting untuk prevensi remodeling pada beberapa hewan percobaan.8
ACE inhibitor merupakan obat pertama yang secara konsisten dan substansial sukses berperan dalam terapi gagal jantung kronik. ACE inhibitor berperan dalam pengobatan gagal jantung melalui mekanisme pencegahan remodeling yang dimediasi oleh angiotensin II.8
Menurut studi dari ELITE – II (Evaluation of Losartan in the Eldery Study II) jalur ACE merupakan jalur yang lebih dominan dalam pembentukan angiotensin II pada jantung manusia. Pada penggunaan ACE inhibitor, peningkatan level bradikinin perlu diperhatikan. Studi pada gagal jantung menunjukkan bahwa gen ACE, ekspresi protein ACE, dan aktivitas enzim ACE meningkat, namun ekspresi gen chymase tidak meningkat. Ventrikel pada jantung yang gagal akan mengambil renin sistemik yang meningkat dalam jumlah yang lebih banyak daripada ventrikel yang sehat. Jantung yang gagal juga menunjukkan level protein angiotensinogen yang lebih rendah, sesuai dengan penurunan substrat. Akhirnya, pada gagal jantung, reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) secara selektif mengalami downregulation pada level protein dan mRNA, mungkin karena paparan terhadap peningkatan angiotensin II. Hal ini mengindikasikan bahwa local myocardial renin-angiotensin system (RAS) pada gagal jantung terinduksi, sehingga terjadi aktivasi sistemik. Induksi ini tidak terjadi pada sistem chymase. Peningkatan level angiotensin II memiliki beberapa efek pada system kardiovaskular, meliputi hipertrofi cardiac myocyte, apoptosis myocyte, fasilitasi pelepasan norepinefrin presinaps, dan efek mitogenik pada fibroblast. Kebanyakan dari efek biologis angiotensin II ini berkontribusi pada terjadinya hipertrofi dan remodeling.8
ACE inhibitor dipertimbangkan sebagai terapi mandatory pada gagal jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik. Menurut studi trial pada gagal jantung dan post mikard infark, dosis yang dipakai harus dosis rata-rata untuk menurunkan angka kematian. Satu-satunya efek samping yang menetap pada penggunaan ACE inhibitor adalah sedikit peningkatan terjadinya batuk ( 5% lebih tinggi daripada plasebo), pada pasien semacam ini dapat diganti dengan angiotensin II AT 1 receptor blocker.9
 
Tabel 6. Target dosis ACE inhibitor6

Drug
Starting Dose
Target Maintenance Dose
Benazapril
2.5mg daily
20mg daily
Captopril
6.25mg twice daily
50mg three times daily
Cilazapril
0.5mg daily
0.5mg daily
Enalapril
2.5mg daily
10-20mg twice daily

Lisinopril
2.5mg daily
20-40mg daily
Perindopril
2mg daily
2mg daily
Quinapril
2.5mg daily
20-40mg daily
Ramipril
1.25mg daily
5-10mg daily
Trandolapril
0.4mg daily
4mg daily



B. Kontribusi Bradikinin Terhadap Efek Anti Growth  ACE Inhibitor
ACE juga berperan sebagai suatu kininase dan berkontribusi secara signifikan terhadap degradasi bradikinin pada level jaringan ataupun lokal. Sehingga, inhibisi ACE meningkatkan level bradikinin endogen lokal. Beberapa studi menunjukkan bahwa bradikinin berkontribusi pada efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus dengan tekanan overload yang diberi antagonis reseptor bradikinin tipe 2 (B2 kinin), HOE140, menunjukkan hilangnya efek ACE inhibitor dalam mengurangi hipertrofi miokard. Pada tikus dengan miokard infark yang diberi ACE inhibitor dan antagonis B2 kinin terjadi penghentian penurunan fibrosis interstitial dibandingkan tikus yang diberi ACE inhibitor saja. Studi percobaan ini menunjukkan bahwa penurunan bradikinin lokal memediasi efek anti growth ACE inhibitor pada level miosit dan fibroblast pada ventrikel yang mengalami remodeling.9

DAFTAR PUSTAKA
1.      Harbanu H Mariyono, Anwar S, Gagal Jantung, Bagian/SMF Kardiologi FK Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar.
2.      Misteri Gagal Jantung, Available at : http://www.agussuwasono.com/ diakses 10 juni 2010.
3.      Arif Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, edisi 3, jilid I, 1999, hal : 434 – 437.
5.      Laksono S. Patofisiologi Payah Jantung Kronik. Cermin Dunia Kedokteran (CDK) 169/Vol.36 No.3/Mei-Juni 2009. Hlm.172-175.
6.      Shamai Grossman, MD, MS, Congestive Heart Failure and Pulmonary Edema, Available at :www.emedicine.com
7.      MM Panggabean, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV, jilid 3, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006, hal : 1513 – 1514.
8.      P. Ismahun, Peranan Angiotensin II Receptor Antagonist pada Penyakit Jantung Hipertensi, Bagian Penyakit Dalam-Jantung, RS Dr. Soepraoen, Malang.
9.      Peranan Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitor dalam Pengobatan gagal Jantung,Available at : http://uncruxers.wordpress.com/